Dalam sebuah unggahan video yang viral di media sosial, Pak Mahfud MD yang merupakan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bentukan Jokowi ini mengatakan, petahana kalah di daerah yang dulunya dianggap dan diidentifikasi sebagai daerah garis keras secara keagamaan.
Anggota Dewan Pengarah BPIP yang digaji dengan uang rakyat ini dengan tegas menyebut daerah seperti Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Apakah maksud Pak Mahfud mengidentikkan daerah garis keras secara keagamaan ini terkait dengan DI/TII dan GAM di Aceh, PRRI di Sumatera Barat, DI/TII di Jawa Barat, dan DI/TII serta Permesta di Sulawesi Selatan pada masa lalu? Apakah secara tidak langsung Pak Mahfud mengatakan kami pemberontak dan ekstrimis?
Saya sebagai salah seorang putra Sumatera Barat, terkhusus sebagai anak Minang merasa tersinggung dengan pernyataan itu. Sebelum adanya PRRI, terlebih dahulu tanah leluhur kami sempat dijadikan pusat pemerintahan darurat republik Indonesia atau dikenal dengan PDRI.
Kalaulah kami orang Minang kala itu oportunis, sudah kami halau utusan pemerintah pusat kala itu. Karena dengan dipindahkannya pemerintahan ke Sumatera Barat, sama saja artinya memindahkan medan pertempuran ke tanah leluhur kami.
Kalau lah kami ini dianggap ekstrimis, mungkin kala itu kami juga enggan menyerahkan republik ini ke Pulau Jawa setelah negeri kami diobrak-abrik Belanda saat PDRI. Tapi apa fakta yang sebenarnya, PDRI disambut baik oleh masyarakat Minang. Dari dalam hutan-hutan kami semangat perjuangan dikobarkan dan eksistansi NKRI disampaikan melalui stasiun-stasiun pemancar radio hingga ke luar negeri.
Terkait Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), jika itu dianggap sebagai daerah yang diidentifikasi garis keras, mari kita lihat awal adanya gerakan ini. Sejarah PRRI bukanlah pemberontakan maupun tuntutan mendirikan negara baru, melainkan bentuk protes kepada pemerintah pusat kala itu. Di mana saat itu terjadi ketimpangan pembangunan antara Pulau Jawa dengan daerah-daerah di luar Pulau Jawa.
Tapi apa dikata, pemerintah yang berada di Pulau Jawa menganggap protes kami sebagai sebuah pemberontakan. Siapakah korban dari penumpasan dan pengerahan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia ini? Korbannya adalah Republik Indonesia. Karena tokoh PRRI yang ditumpas merupakan para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI.
Jika kami orang Minang tidak memilih Jokowi dianggap tidak rasional dan mengedepankan emosional keagamaan, lagi-lagi Pak Mahfud gagal mengenali karakter kami orang Minang.
Kalaulah karena emosional keagaamaan semata, tidaklah mungkin Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menang telak di Sumatera Barat pada pilpres-pilpres sebelumnya. Dimana kala itu kencang berhembus hoaks tentang agama Buk Ani Yudhoyono yang dikatakan Katolik lantaran nama beliau Kristianti Herrawati.
Jadi bijaklah hendaknya Pak Mahfud menempatkan diri. Jika berbicara selaku anggota Dewan Pengarah BPIP, maka bicaralah tentang ideologi yang merekatkan, bukan memancing kemarahan yang berdampak kepada keretakan bangsa dan negara ini.
Kalau Pak Mahfud berbicara sebagai kapasitas mantan Ketua MK, maka berbicaralah terkait masalah-masalah hukum yang terjadi selama Pemilu 2019 berlangsung. Jikalau Pak Mahfud berbicara selaku tim sukses, tentu harus ada SK yang membuktikannya.
Termohon maaf yang sebesarnya kepada Pak Mahfud. Dengan segala hormat, jangan tuding kami orang Minang sebagai orang-orang garis keras yang berbeda haluan dengan NKRI. Jangan ajari kami arti bela negara. Jangan ajari pula kami bagaimana seharusnya memilih pemimpin. Nenek moyang kami telah meninggalkan dasar-dasar yang kuat dalam pituah yang diturunkan turun-temurun, dari generasi ke generasi.
Pemimpin menurut kami orang Minang adalah "Bak kayu gadang di tangah koto, ureknyo tampek baselo, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, daun rimbunnyo tampek bataduah, tampek bahimpun hambo rakyat, pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, sasek nan kamanyapo tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik kamanyalasai, tibo dikaruah mampajaniah, mahukum adia bakato bana".
Jika Pak Jokowi tidak bisa menang di daerah kami, barangkali ada kriteria yang tertuang dalam pituah adat kami yang tidak terpenuhi oleh Pak Jokowi. Menang dan kalah adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Jadi marilah kuatkan yang benar, jangan benarkan yang kuat. Adil dan bijak dalam bernegara.0 tsc