Pengkaji geopolitik Hendrajit mengingatkan pemerintah bahwa memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, berbahaya secara geopolitik.
Hal ini disampaikan Hendrajit dalam seminar bertajuk "Menyoal Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/9). Hadir sebagai keynote specch di forum itu, Prof Amien Rais.
"Meskipun ini wacana, tadi sudah disampaikan Pak Fadli Zon, bahwa itu belum menjadi satu rencana, tetapi memang ini wacana yang berbahaya. Kedua, karena pilihan tentang Kalimantan itu sendiri," kata Hendrajit.
Dalam argumentasinya, direktur eksekutif Global Future Institut itu kembali pada ingatan masa lalu sebelum Belanda masuk ke Jawa dengan menguasai Sunda Kelapa. Tujuannya untuk memblokade pelabuhan terbesar masa itu yang berada di Jawa Barat, tepatnya di Banten.
Dijelaskan Hendrajit, Banten itu merupakan daerah penyangga antara Laut Jawa dengan Selat Sunda, tetapi Belanda tidak bisa langsung direct attack ke Banten karena Sultan Agung Tirtayasa masih sangat kuat baik secara militer maupun soliditas kerajaan.
Jadi, lanjutnya, Belanda memakai cara merebut daerah, kalau diibaratkan Baten itu sebuah jantung, maka Sunda Kelapa adalah daerah lambung. Inilah pola blokade dan isolasi yang diterapkan para gubernur jenderal Belanda.
"Para gubernur jenderal (Belanda) menyadari betul bahwa lokasi geografis itu sangat penting. Jadi bukan satu kebetulan Jakarta, ketika Indonesia merdeka menjadi ibu kota. Itu pertimbangan yang paling penting dalam melihat geopolitik," tuturnya.
Hendrajit juga memandang persoalan ibu kota negara ini paralel dengan masalah-masalah sebelumnya terkait proyek-proyek ekonomi. Tetapi tidak mengintegrasikan antara ekonomi, geografi dan strategi.
Masalahnya hampir sama ketika Indonesia bekerjasama dengan Tiongkok dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung di Sulawesi Utara.
Hanya karena ratusan triliun, kata Hendrajit, para elite bangsa ini membayangkan Bitung sebagai proyek ekonomi, peluang bisnis. Sebaliknya, mereka tidak berpikir secara wawasan geopolitik dalam hal ini Tiongkok, yang menawarkan ratusan triliun.
Bahkan di penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lanjutnya, Tiongkok menyatakan siap membanjiri Indonesia dengan investasi dan hibah, namun mereka meminta satu saja kawasan ekonomi khusus (KEK) dan yang diminta adalah Bitung.
"Para elite tidak berpikir, kenapa dia (Tiongkok) minta Bitung. Apa ada kekayaan alam di situ? Tidak terlalu, tetapi lokasi geografis, dari Bitung itu, adalah jalur Indonesia timur ke Asia Pasific, jadi itu pintu gerbang," tegas Hendrajit.
Maka, dengan dua tiga ratus triliun, sebagian wilayah Indonesia dicaplok oleh Tiongkok dalam konteks sebagai investor, mereka mengendalikan pengamaman maritim di Bitung. "Untuk apa? Untuk mengimbangi secara nonmiliter terhadap dominasi Amerika yang sudah cukup solid secara militer," jelas Hendrajit.
Lantas apa kaitannya dengan Kalimantan? Secara umum, Hendrajit menyatakan jika para elite entah tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa Kalimantan dikelilingi Laut Tiongkok Selatan di bagian barat dan utara.
Di sini lah menurutnya skema Tiongkok itu jika dilihat dalam konteks perkembangan tren global di mana Amerika - Tiongkok, itu titik pertarungan hidup matinya ada di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur.
"Nah, ini termasuk Kalimantan di barat dan utara tadi, dikelilingi Laut Tiongkok Selatan. Artinya apa? Kalau dia bersahabat kita akan jadi epicentrum, tetapi kalau dia musuh, kita dikepung. Dikepung oleh blok barat Amerika dan Tiongkok, karena itu memang titik utama. Walaupun (pindah ibu kota) ini wacana, ini amat berbahaya," tandasnya. 0 nn