Image description
Image captions
Oleh : DR. Masri Sitanggang


Penulis adalah Ketua Gerakan Islam Pengawal NKRI (GIP-NKRI); Wakil Ketua Bidang Ideologi Majelis Permusyawaratan Pribumi Indonesia (MPPII)

Seperti tikus got di Papua. Berlagak singa di luarnya. Menjadi Kucing di hadapan anak-anak STM dan SMA. Kembalilah jadi pengayom, negeri ini milik anak-anak kita.

Terenyuh betul hati ini. Polisi seperti tikus got, diburu untuk dihabisi. Tunggang-langgang, terjatuh, tersungkur , bangkit dan terseok-seok menyelamatkan diri dari amukan massa. Banyak yang terluka, ringan atau pun berat. Tubuh-tubuh mereka bersimbah darah dan muka mereka pucat lemah tak berdaya.

Hati terguncang, iba pun datang. Sebuah foto menampakkan seorang polisi dengan leher tertancap anak panah. Raut wajahnya menyimpan rasa sakit yang teramat, namun tetap berusaha tenang dan tampil sebagai satria. Ia duduk bersama sejumlah polisi yang terluka. Anak panah itu masih menancap di sisi kanan lehernya.

Emosiku memuncak saat aku menyaksikan sebuah video yang menunjukkan sejumlah polisi kucar-kacir dan tunggang-langgang di kejar massa yang membawa alat pemukul. Seorang di antara polisi itu terjatuh di tepi jalan dan tak sempat bangkit untuk berlari. Dalam keadaan telungkup, Ia dihabisi di tempat. Sejumlah orang memukul dengan pentungan di bagian tubuh, kepala. kaki dan tangganya.

Bahlan yang menurutku teramat sadis, yang membuat hati ini memberontak, seorang mengangkat batu sebesar kelapa lalu menghantamkannya ke kepala sang polisi yang sudah tak berdaya.
Marah, jengkel, sedih, pilu dan entah apa lagi, berbaur jadi satu membentuk perasaan tak karuan.

Polisi Indonesia yang selalu tampil gagah dan hebat dalam publish perang melawan terorisme, ternyata tidak ada apa-apanya di Papua. Tidak ada harganya, seperti tikus got. Itu yang membuat aku marah dan jengkel. Apalagi kalau aku ingat arogansi polisi di 411 tahun 216 dan kejamnya pada 21-22 Mei di depan kantor KPU.

Tetapi marah dan jengkel itu pelan-pelan reda –berganti sedih, pilu dan duka. Rasa kemanusianku tak dapat kututupi. Para anggota polisi yang jadi korban di Papua itu hanya pekerja. Mereka bertindak sesuai atasan perintah apa, termasuk perlengkapannya : tangan kosong, pentungan atau senjata. Maka, yang harus dimiliki menghadapi kemungkinan terburuk –bila tidak dilengkapi persenjataan, adalah keahlian memainkan langkah seribu : lari. Itu pun kalau masih bisa. Mereka tewas dalam tugas.

Video-video itu beredar luas. Aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaan anak dan isteri para anggota polisi itu menyaksikan vido ayah mereka dikejar-kejar, diburu, tersungjur dan dipukuli massa. Lebih lagi, aku tak dapat membayangkan betapa terluka hati anak-anak dan istri sang polisi menyaksikan video ayahnya di habisi secara sadis, adegan demi adegan. Sunggguh ini duka yang amat sangat dalam.

Aku dapat merasakan dan ikut merasakannya hingga air mata hangat bergulir di pipiku. Cairan bening keluar dari dua lubang hidung. Aku menangis tanpa suara, sepi larut dalam emosi sedih dan pilu. Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah, terimalah amal ibadah almarhum dan ampuni kesalahannya. Ya, Rabbus samawati wal ardhi, tabahkanlah anak-anak dan istri almarhum menyaksikan kenyataan ini. Kuatkanlah hati mereka”. Itulah tangisku untuk Polisi.

Tidak lama berselang dari peristiwa Papua. Video-video “pembantaian” yang membuat aku menangis tanpa suara beredar lagi. Kali ini korbannya adalah mahasiswa dan pelakunya adalah polisi. Mahasiswa berunjuk rasa mempersoalkan ribuan hektar lahan-hutan yang terbakar dan asapnya menyesakkan dada, merusak saluran pernafasan memerihkan mata. Soal RUU KUHP dan kekerasan seksual. Tak hanya di satu daerah, unjuk rasa ini merata di hampir seluruh kota besar di Indonesia

Mahasiwa tidak membawa alat pemukul. Mereka membawa argumentasi ke kantor Dewan. Tapi mereka mendapati kekerasan : di siram tembakan air yang tekanannya mungkin sebanding dengan pukulan tinju orang dewasa. Mereka ditembaki gas yang memerihkan mata; dilibas pakai kayu, ditendang dan entah apa lagi. Yang jelas, sejumlah mahsiswa berdarah-darah dan harus dilarikan ke rumahg sakit. Ada yang tulangnya patah, ada yang tubuhnya tekoyak dan tak sedikit yang kepalanya bocor; dan, ini, kabarnya ada juga yang akhirnya meregang nyawa.

Hati siapa yang tak teriris menyaksikan video seorang mahasiwa dikeroyok sejumlah anggota polisi. Mereka seperti melepaskan pukulan dendam kepada mahasiswa yang tidak melawan. Entah dendam apa, mungkin psikiaterlah yang dapat menemukan jawabnya. Itu terjadi di banyak tempat : Medan, Bogor dan jangan di tanya di Jakrta. Yang pasti, tidak ada di Papua.

Yang amat menyayat hati, di pelataran sebuah gedung di Jakarta, sorang mahasiswa berjaket hijau di jadikan “bola” oleh sejumlah anggota polisi. Adikku, mahasiswa itu, mencoba menghindari pukulan dari sorang angota polisi tapi segera disambut oleh polisi yang lain. Adikku itu bangkit, lalu ditendang lagi oleh anggota p[olisi lainnya. Begitulah hingga adikku itu terjungkal-jungkal dan terjatuh lemas dan dibawa ke dalam gedung itu. Tak jelas apa kejadian selanjutnya, namun esok harinya terbetik berita seorang mahasiswa dirawat di gawat darurat sebua rumah sakit karena batok kepalanya retak dan otaknya pendarahan. It is totally brutal.

Aku pun tak dapat membayangkan betapa hancur hati ibu dari adikku, mahasiswa itu, menyaksikan adegan brutal itu. Anak yang dengan sudah payah diasuh dan dicarikan biaya kuliah, diperlakukan seperti anak tikus oleh mereka yang mengaku pengayom. Air mataku bergulir hangat di pipi. Ingusku pun keluar tak dapat kutahan. Kali ini aku lebih sedih dari pada ketika menyaksikan video Papua. Mungkin dua kali lipat.

Lipat pertama, sedihku akan nasib adik-adik mahasiswa yang diperlakukan secara kejam itu; membayangkan hancurnya hati orang-orang tua yang anaknya diperlakukan seperti binatang padahal mereka membanggakan anak-anaknya yang kelak akan jadi orang yang berbakti. Mungkin sebagai orang tua, mereka pun tak pernah menendang anaknya sekejam itu. Duh, di mana hilangnya nurani Polisi.

Lipat kedua, sedihku akan moralitas Polisi. Betapa rendahnya moralitas Polisi, tak mampu menahan diri dan menyellesaikan persoalan dengan adik-adik mahasiswa secara senyum. Tidak tampak beda antara Polisi dan preman dalam hal ini.

Di negara Pancasila, Polisi sepertiya adalah preman legal, yang digaji dengan “rampasan” uang rakyat. Aku bertanya dalam hati, apa yang diajarkan di Akademi Kepolisian, sehingga moralitas polisi serendah ini. Kenapa para mahasiswa lebih hapal selogan Pak Polisi “tugasmu mengayomi” ? Inilah tangisku yang lain untuk Polisi.

Kesedihanku membayangkan hancurnya hati para orang tua yang menyaksikan –lewat video sosmed, anaknya dianiya beramai-ramai oleh polisi terobati ketika menyaksikan anak-anak STM ikut turun ke jalan. Jujur sejujur-jujurnya harus kukatakan : “aku bersorak gembira dengan ikutnya anak-anak STM berunjuk rasa. Mereka punya kelebihan dibanding abang-abang mahasiswa dalam hal menghadapi kebrutalan. Nyali anak-anak STM sudah tertempa dan skilnya dalam hal tawuran sudah pula terbina.

Hasilnya, polisi kewalahan. Anak-anak yang masih remaja ini nekad mengejar-ngejar polisi. Polisi yang tadinganya seperti singa, berubah jadi kucing; belum sampai jadi tikus got seperti di Papua memang. Tapi lumayanlah, ada perimbangan. Sejumlah polisi jadi korban.

Keberutalan, tampaknya harus dihadapi dengan keberutalan.
Anak-anak STM telah memberi pelajaran penting dan berharga buat Polisi : keberutalanmu tidak ada apa-apanya buat anak-anak; taktik mengendalikan massa yang kau miliki, tidak punya arti di depan anak-anak; keberanianmu ternyat hanya ada karena ada senjata di tanganmu. Anak-anak tidak hanya berani, tapi nekad !

Sekali lagi, keberuatalan tampaknya harus dihadapi dengan keberutalan : tak bisa dengan argumentasi akademik. Maka, ke depan, mahasiswa memang harus belajar dari anak-anak STM agar nanti bila akan demo sudah punya bekal. Mata kuliah “tawuran” nampaknya perlu diajarkan di perguruan tinggi agar tidak dianiayai ketika berunjuk rasa dan berorasi. Setidaknya, menjadi kegiatan ekstra kurikuler.

Tetapi, negeri macam apa nanti Indonesia ini ? Entahlah, sulit meramalkannya. Mungkin negeri cow boy. Ngeri membayangkannya.
Entah berapa lama lagi suasana rusuh ini berlangsung. Entah berapa banyak lagi korban akan berjatuhan. Yang pasti, kuncinya ada di tangan Polisi. Kalau Polisi dapat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, kisah kerusuhan segera tamat. Kalau Polisi menyadari bahwa mereka sedang diperhadapkan dengan “perang” melawan anak-anaknya sendiri, cerita huru-hara akan berhenti. Tetapi kalau tidak, cerita rusuh mungkin saja akan berubah jadi certa Mahabharata.

Karena itulah tangisku ini untuk Polisi. Aku tak mau Polisi negeriku seperti tikus got yang diburu tak berdaya seperti di Papua. Aku tak ingin Polisi negeri Khatulistiwa ini rendah moralitasnya, tak mampu menangani unjuk rasa kecuali dengan senjata. Aku pun tak ingin Polisi negeri Pancasila dihinakan karena dipertandingkan dengan anak-anak sendiri yang remaja –pelajar STM, SMA bahkan lebih rendah dari itu : SMP. Ini penghinaan; ibarat pertandingan tinju, petinju kelas berat dikalahkan petinju kelas bulu.

Karena itu, nasehat dalam tangisku ini kepada Polisi : “kembalilah kau menjadi pengayom masyarakat”. Jadilah engkau tempat orang-orang lemah berlindung, tempat masyarakat berkeluh kesah, tempat orang mendapatkan keamanan dan ketenteraman. Tengok dan dengarkan keluhan masyarakat. Menjiplak selogan WALHI “Bumi ini bukanlah warisan nenek moyang kita, tetapi titipan dari anak cucu kita”, maka Indonesia ini adalah milik anak-anak kita, para mahasiswa dan pelajar. bukan milik kita.

Bantu mereka mendapatkan apa yang mereka mau tentang negeri ini. Mereka tahu apa yang mereka mau. Karena mereka sudah dididik di perguruan tinggi dengan Pancasila. Berhentilah menjadi alat penguasa yang memusuhi rakyatnya. Until now, I still love you.

Wallahu a’lam bisshawab