PADA tahun 2017, Jokowi munculkan gagasan Jocowinomic dengan menulis buku berjudul 'Jokowinomics: Sebuah Paradigma Kerja', yang diterbitkan oleh Gagas Bisnis, Oktober 2017 di Wisma Bisnis Indonesia, Rabu (25/10/2017). Pada peluncuran buku tersebut, Menkeu mengemukakan fokus utama pemerataan berkeadilan ada pada pembangunan ekonomi dan peningkatan produktivitas.
Hal yang wajar sebagai sebuah konsep kerja pemerintah, meskipun kontra produktif dengan struktur anggaran yang saat itu hanya didominasi oleh infrastruktur dan mengabaikan 2 pilar penting lainnya yaitu pemerataan yang berkeadilan, pengentasan kemiskinan dan kebijakan afirmatif yang menopang paradigma Jokowinomics.
Optimisme terhadap konsep Jokowinomics menjadi kerangka kerja secara nyata dalam 3 pilar penting ketika disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalan Visi Indonesia adalah “setiap rupiah yang keluar dari APBN, harus tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
Kemudian “titik dimulainya pembangunan SDM adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah. Ini merupakan umur emas untuk mencetak manusia Indonesia yang unggul ke depan. Itu yang harus dijaga betul. Jangan sampai ada stunting, kematian ibu, atau kematian bayi meningkat. Tugas besar kita di situ!”
Saya termasuk orang yang secara tegas protes Pemerintah Jokowi-Kalla 2014-2019 ketika pemerintah merilis data BPS 2018 bahwa angka kemiskinan mencapai mencapai 1 digit yaitu 9,82 %. Namun jika dilihat dari prestasi penurunan kemiskinan antar presiden, maka pemerintah ini termasuk paling terenda karena hanya mampu menurunkan 1% selama 4 tahun, yaitu 10,96 tahun 2014 menjadi 9,82 tahun 2018.
Padahal pemerintah menghabiskan anggaran 8 ribu triliun. Sedangkan pundi-pundi orang kaya mengalami peningkatan 10% tiap tahun.
Komitmen Joko Widodo untuk mengubah orientasi pembangunan dari pembangunan instrastruktur ke pembangunan sumber daya manusia layak dihormati karena sejalan dengan kondisi, kebutuhan serta tidak hanya menjadi tuntutan rakyat Indonesia tetapi juga orientasi pembangunan di seluruh dunia.
Paus Fransiskus menggegerkan pemimpin dunia ketika baru naik takhta sebagai pemimpin Gereja Katolik di Vatikan menegaskan pentingnya intervensi negara menyelamatkan kemiskinan dan kebodohan di seluruh dunia. “Beberapa orang masih saja membela teori menetes ke bawah”. Mereka lugu dan tidak waspada. Seperti perintah “kita tidak boleh membunuh”. Sekarang kita harus mengatakan kita tidak boleh menjalankan kebijakan ekonomi yang eksklusif dan tidak adil”.
Dua tahun kemudian pernyataan Paus Fransiskus tersebut disambut oleh Direktur IMF Christine Lagarde pada tanggal 25 Juni 2015, bahwa “sistem menetes ke bawah meningkatkan kesenjangan pendapatan. Menciptakan ketidakadilan di hampir setiap negara. Ketika yang kaya semakin kaya. Kekayaan tidak menetes ke ke bawah.
Demkian pula Hillary Clinton tanggal 7 Juli 2015 bahwa “kita (bangsa Amerika) tidak bisa lagi menjalankan kebijakan ekonomi yang gagal. Sudah waktunya teori menetes ke bawah dikubur dalam-dalam.
Periode pertama Joko Widodo (2014-2019) telah ke luar dari jebakan soal identitas dan orientasi ideologinya. Meskipun melalui pro dan kontra komitmen Joko Widodo dalam Visi Indonesia untuk memantapkan ideologi Pancasila secara tidak langsung mau menyatakan bahwa dirinya tidak seperti yang dibayangkan soal kadar nasionalisme dan patriotism. Mesti meyakinkan agar Indonesia menjadi bangsa yang “tidak hanya mandiri tetapi juga berdaulat”.
Hari ini rakyat Indonesia khawatir bila bangsa ini gampang jatuh dalam jebakan penetrasi kapital dan hegemoni dunia ekonomi kapitalisme. Pada periode kedua ini, Joko Widodo tentu meyakinkan rakyatnya jika negara ini tidak akan menjadi komprador kapitalisme karena kapitalisme mengajarkan setiap orang bertarung dan bertahan dalam ketidakberdayaan (survivel) dan orang miskin akan terancam, bangsa bumi putra tergerus dalam jurang kemiskinan.
Negara mesti sebagai pelopor dan perintis untuk intervensi menyelamatkan rakyat bahkan Prabowo juga menginginkan adanya subjek pembangunan dilakukan melalui kemitraan abadi antara negara dan rakyat. Tidak hanya public private partnership (PPP), tetapi public state partnership.
Prabowo adalah antitesa Joko Widodo yang konon katanya Jokowinomic yang justru sumber daya ekonomi terpusat pada oligarki ekonomi, sumber daya ekonomi tergadai pada investasi asing, bahkan swasta sebagai aktor pembangunan nasional.
Dalam buku Paradoks Indonesia, Prabowo Subianto secara jelas dan tegas menginginkan pemerintah bertindak sebagai pelopor, bahkan proaktif untuk kemakmuran rakyat, pengentasan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, pembangunan sarana dan prasarana dan peningkatan sumber daya manusia melalui kompetensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan mental dan moral (atittute).
Cara pandang Joko Widodo yang mau menghadirkan pembangunan di tengah-tengah orang miskin, terpinggirkan dan di perdesaan ingin mengubah pembangunan nasional yang selama ini berpusat di kota-kota sebagai pusat pelayanan (services centre) juga kawasan industri sebagai pusat pertumbuhan (growth centre).
Jokowi harus mau mengobati bulir-bulir yang mendalam karena tingginya disparitas pembangunan, sosial dan ekonomi, disparitas antara Timur dan Barat Indonesia, disparitas antara desa dan kota.
Orang desa adalah korban dari para ekonom yang mendapat julukan mafia barkeley yang merancang bangun negara dengan sistem kapitalis menciptakan kelompok oligarki taipan-taipan Hoakiau, juga berpaham liberal memberangus cara pandang bumiputera yang berpedoman pada nilai-nilai lokal (local values).
Akibatnya, kaum bumiputera tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam dunia bisnis, juga tidak mampu memasuki dunia kerja yang membutuhkan standar kompetensi dan sertifikasi. Kemampuan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) juga perilaku dunia kerja (attitute) masih jauh lebih rendah dari negara-negara lain.
Komitmen terhadap orang miskin mau membangun Indonesia dari basis kehidupan masyarakat desa, sebuah antitesa dari konsep efek tetesan ke bawah (trikle down effect) yang primadona di negara-negara selatan di dunia ketiga di 70-an sampai medio 90-an.
Konsep pembangunan yang digandrungi para dosen ekonomi pembangunan di universitas ternama di dunia ketiga, termasuk Universitas Gajah Mada (UGM) Yogya dan Universitas Indonesia (UI). Kecuali Profesor Doktor Mubyarto pencetus Inpres Desa Tertinggal (Iki Duit Tangkarko, dalam bahasa Jawa) adalah penentang konsep kapitalisme borjuasi dan liberalisme.
Sayang, Mubyarto, pejuang ekonomi Pancasila berjuang sendirian dan dikucilkan bahkan tidak pernah diberi peran strategis di negeri ini. Lebih dari 50 tahun, sekolah tinggi pembangunan masyarakat desa diabaikan, jurusan ilmu pemerintahan desa, jurusan sosiatri pembangunan desa dipandang sebelah mata.
Rakyat menginginkan agar konsep Jocowinomics membangkitkan kembali praktik membangun Indonesia dari pinggiran yang sudah lama ditengelamkan. Di negara Tanzania baik di Sanzibar maupun juga Tanggayika Prof Julius Nyerere menerapkan konsep sosialisme ujama yang menghidupkan semangat kebangsaan dengan menggairahkan agrobisnis di perdesaan.
Demikian pula penerapan konsep Felda di Malaysia, dimana roda pertumbuhan ekonomi dihidupkan oleh industri perkebunan dengan mobilisasi sumber daya manusia di wilayah-wilayah Felda.
Demikian pula konsep Semaul undong di Korea yang membangun kota dari pinggiran. Di paruh ke dua 70-an dan awal 80-an negeri ini juga pernah belajar dari Tanzania khususnya konsep transmigrasi dan pembangunan desa. Jejak kaki Julius Nyerere 1981, terukir di SMA Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan. Oleh Karena itu, membangun Indonesia dari desa sudah pernah dipraktikkan dan hasilnya kita bisa menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri melalui swasembada pangan di zaman orde baru.
Pertanyaannya adalah apa program nyata dan hal baru dalam konsepsi nawacita membangun Indonesia dari pinggiran? Konsep nawacita sebanarnya memberi harapan baru Bangsa Indonesia, namun gagal karena minimnya gagasan dan implementasi dalam pemerintah Jokowi 2014-2019.
Munculnya butir membangun Indonesia dari pinggiran telah ada sebelum pemerintahan Jokowi bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Program kolonisasi penduduk Grobogan dan Purwodadi ke Kedong Tataan, Kalianda, Lampung Selatan melalui politik etis Belanda atas perjuangan Dowes Dekker atau Suwardi Suryaninggrat, dkk 1912 yang kisahnya dilukiskan dengan baik oleh peneliti Perancis, Patric Levang berjudul buku “Tanah Sabrang”.
Setelah Indonesia merdeka 1945, program kolonisasi diubah sebutannya menjadi transmigrasi, ciri khas bangsa Indonesia bahkan program asli Indonesia karena istilah transmigrasi tidak ditemukan dalam kamus bahasa asing termasuk dalam ensiklopedia terlengkap dunia; Britanica maupun juga Americana.
Lalu apa yang baru diharapkan baru dalam program Jokowi ke depan, tentu saja yang baru adalah langkah nyata, menuliskan butir cita-citanya lasim makin menua dilaksanakan di negeri ini.
Penduduk pedesaan adalah orang-orang yang lahir, tumbuh dan berkembang di daerah terpencil, terisolasi, jauh dari hiruk pikuk modernisasi, bahkan desa diasosiasikan sebagai ujung dari pembangunan. Kemiskinan dan kebodohan yang menumpuk di pedesaan seringkali dikapitalisasi para penguasa dan politisi untuk kepentingan, setelah berkuasa ditinggalkan begitu saja.
Pemerintah memiliki sumber daya yang cukup, baik anggaran, personel dan fasilitas hanya butuh pemimpin empati, tulus, konsisten membangun desa.
Anggaran desa saat ini cukup besar, bahkan paling besar dalam sejarah Republik Indonesia. Selain anggaran pembangunan desa di kementerian desa sebesar Rp 170 triliun, juga terdapat di berbagai satker seperti; PUPR, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, Kementerian Dalam Negeri.
Presiden Joko Widodo dan Maruf Amin harus memiliki kemauan untuk mengubah (unwilling to change), harus mau melakukan revolusi dalam berfikir (revolusio normain), dan juga mau menjadi orang gila dalam membangun di negeri ini. Dengan ini maka, Jokowinomics tidak hanya adagium tetapi juga membawa bangsa ini menuju sejahtera, adil dan makmur.
Natalius Pigai
Alumni Sekolah Pembangunan; Mantan Staf Khusus Menakertrans 1999-2004