Image description
Image captions
 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengirim surat kepada Menteri ESDM, Ignasius Jonan dan Menteri BUMN, Rini Soemarno soal utang PT Perusahan Listrik Negara (PLN).
Dalam surat tersebut Sri Mulyani khawatir kondisi keuangan PLN akibat kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman. Sri Mulyani juga menyinggung soal PLN yang dibebani investasi dalam proyek listrik 35.000 MW yang merupakan penugasan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rizal Ramli mempertanyakan maksud Sri Mulyani membocorkan kondisi PLN tersebut.
"Apa maksud Menkeu Mbok Srie bocorkan "PLN beresiko default"? Bisa bikin panik 'bond holders' lho?," ungkap Rizal Ramli kepada redaksi, Rabu (27/9).
Rizal Ramli pun curiga ada kepentingan tertentu yang sedang disiapkan oleh mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
"Atau buntutnya mau pecah-pecah dan jual PLN seperti saran Bank Dunia, liberalilasasi habis sektor energi? Ide dan saran Bank Dunia itu, melanggar UU Kelistrikan lho, Piye toh," sindir mantan Kepala Bulog itu.
Sebetulnya, saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal sudah memprediksi jika proyek 35.000 MW yang terkesan dipaksakan, akan membahayakan keuangan PLN, bahkan bisa berujung pada kebangkrutan.
Menurut Rizal, berdasarkan hitungannya dalam 5 tahun ke depan, Indonesia hanya butuh pembangkit listrik dengan kapasitas total 16.000 megawatt (MW), bukan 35.000 MW.
"Kalau 35.000 MW tercapai 2019, maka pasokan jauh melebihi permintaan, ada idle (kelebihan) 21.000 MW. Di sana ada listrik swasta," jelas Rizal.
Kelebihan kapasitas listrik 21.000 MW yang dibangun swasta atau Independent Power Producer (IPP) itu akan membuat PLN tetap wajib membayar biaya listrik ke perusahaan swasta berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), antara PLN dengan IPP.
Artinya kata Rizal, pakai tidak dipakai, listriknya PLN tetap wajib bayar ke perusahaan swasta.
"PLN harus bayar 72% listrik dari listrik yang tidak terpakai," kata Rizal.
Tokoh pemilik jurus Rajawali Kepret itu menambahkan PLN telah menghitung perkiraan listrik yang akan dibayarkan dari 72% atau 21.000 MW yang tidak terpakai nantinya bila proyek 35.000 MW ini selesai dalam 5 tahun ke depan. Jumlahnya cukup fantastis, yakni mencapai US$ 10,763 miliar per tahun atau sekitar Rp 150,6 triliun.
"Mau dipakai apa tidak PLN wajib bayar listrik yang tidak terpakai, 72% yang tidak terpakai dari proyek 35.000 MW itu nilainya tidak kurang dari US$ 10,763 miliar," ungkap Rizal.
Namun demikian, sejauh ini kata Rizal, PLN sudah melakukan sejumlah langkah benar. Rizal mengapresiasi upaya PLN yang memanfaatkan grace periode, yakni PLN hanya membayar bunga saja dan tidak membayar angsuran. PLN juga diapresiasi Rizal karena melakukan revaluasi aset menjadi Rp 1.100 triliun agar likuiditas terjaga.
"Tapi cost effisiensi masih perlu ditingkatkan," demikian Rizal.[rmol]