Polemik tentang khilafah kembali mencuat di Indonesia. Penyebabnya, konvoi rombongan bermotor membawa panji khilafah di wilayah Jakarta beberapa waktu lalu yang berujung penangkapan pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja.
Residivis terorisme itu ditangkap personel Polda Metro Jaya di wilayah Lampung pada awal pekan ini. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E. Zulpan menyampaikan penangkapan Baraja tak sekadar didasari aksi konvoi khilafah yang digelar di Cawang, Jakarta Timur pada 29 Mei lalu.
"Namun sebuah kegiatan yang tidak terpisahkan dari provokasi yang diucapkan dengan ucapan kebencian serta berita bohong yang dilakukan dengan menjelekkan pemerintah yang sah, pemerintah yang saat ini ada di negara kita," kata Zulpan dalam konferensi pers, Selasa (7/6).
"Kemudian kelompok ini menawarkan khilafah sebagai solusi pengganti ideologi negara demi kemakmuran bumi dan kesejahteraan umat," lanjutnya yang menyatakan itu bertentangan dengan UUD 1945.
Merespons polemik persoalan kekhalifahan tersebut, Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wachid Ridwan menegaskan bahwa sistem khilafah sudah tak relevan bila hendak diterapkan di nusantara.
VDO.AI
"Kalau saya pandangnya sudah enggak relevan sama sekali," kata Wachid kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/6).
Ia mengatakan demikian karena sejak merdeka dari kolonialisme, segenap bangsa Indonesia sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Dan, ia mengingatkan sebuah negara itu berjalan tergantung kesepakatan atau konsensus yang telah ditentukan sebelumnya.
Oleh karena itu, Wachid menilai sistem khilafah tidak tepat jika diterapkan di negara Indonesia karena sudah memiliki kesepakatan tersendiri terkait bernegara.
"Negara [Indonesia] kan sudah memiliki ideologi Pancasila. Kalau betul-betul itu yang mereka maksud mau ganti Pancasila [dengan khilafah] ya tak masuk akal. Enggak tahu juga di benak mereka kalau itu bisa ditegakkan," kata dia.
Selain itu, Wachid membandingkan dengan para pendiri bangsa dari kalangan ulama--baik Nahdlatul Ulama (NU), maupun Muhammadiyah-- yang kala itu sepakat pula untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Baginya, para pendiri bangsa dari kalangan Islam kala itu pasti memiliki pemahaman lebih soal agama Islam. Tapi di sisi lain mereka mengerti bagaimana memposisikan agama dalam implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Mereka [para pendiri bangsa] bisa memahami konsep negara dan implementasinya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa dalam pembentukan negara itu. Dan saya masih nggak habis pikir bagaimana mereka [pendukung khilafah] punya logika hal semacam itu," kata Wachid.
Memaknai Khilafah di Dalam Agama dan Negara
Menurut Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, pemaknaan literasi soal khilafah seringkali disalahgunakan di dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Amirsyah mengakui Khilafah di dalam ajaran Islam memang merupakan sesuatu yang sudah dikenal. Namun, kata dia, implementasinya bersifat dinamis.
"Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 2021 lalu menyatakan khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktikkan dalam Islam. Dalam dunia Islam terdapat beberapa model/sistem pemerintahan seperti: monarki, keemiran, kesultanan, dan republik," kata Amirsyah dalam keterangan resminya di laman resmi MUI dikutip Rabu (8/6).
Amirsyah mengatakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI kala itu menyimpulkan bangsa Indonesia sepakat membentuk Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Hal itu dilakukan sebagai ikhtiar maksimal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Dia mengingatkan bahwa 'khilafah' sejatinya mengandung konsekuensi yang sangat luas. Menurutnya, apabila bermain dengan kata-kata apalagi dalam berbahasa Islam dan Alquran bisa berimplikasi luas.
''Kita sepakat tidak ingin bermain kata-kata, karena kata-kata dipermainkan, apalagi dalam bahasa Islam dan bahasa Alquran, itu akan sangat berimplikasi luas,'' kata dia.
Khilafah Tak Identik Terorisme
Beberapa waktu sebelumnya, Ketua MUI Provinsi Sulawesi Selatan Najamuddin mengingatkan pula agar tak mengidentikkan ajaran atau pengenalan khilafah dengan terorisme. Hal tersebut diungkapkannya untuk meluruskan apa sejatinya 'khilafah' tersebut di dalam Islam. Itu pun sebagai tanggapan adanya dugaan kelompok tertentu mensalahartikan khilafah dalam setiap kegiatannya untuk menjadi bagian dari terorisme.
"Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan," ujar Najamuddin seperti dikutip dari Antara, Sabtu (4/6).
Najamuddin menjelaskan khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Salah satunya, dia mengutip bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan ketika ada tiga orang bertiga keluar dari daerah, hendaknya di antara mereka mengangkat satu pemimpin di dalam perjalanan.
Ia melanjutkan jika tiga saja harus ada pemimpin maka dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW hingga negara perlu ada pemimpin.
Oleh karena itu, sambung Najamuddin, kepemimpinan disesuaikan dengan kebutuhan satu komunitas. Ada yang berbentuk monarki dalam berbagai bentuknya seperti kerajaan (mamlakah), ada berbentuk republik, dan lain sebagainya.
Najamuddin menyatakan tidak ada model yang baku ditawarkan Islam kecuali hanya prinsip prinsip seperti musyawarah dan lain-lain.
"Dari sistem itu, maka ada pemimpin dijuluki Amir, Rais Daulah, Almalik, Sultan, dan sebagainya. Semua itu sebenarnya adalah eksistensi manusia sebagai khalifah," tuturnya.
Oleh karena itu, ia mengimbau para pemangku kepentingan juga memiliki pemahaman tentang khilafah dengan makna yang sebenar-benarnya agar tidak terjadi pemahaman yang mengarah kepada ekstremisme dan radikalisme.
"Pancasila bagi bangsa Indonesia sudah final. Founding father kita yang terdiri dari ulama, menganalogikan dengan Piagam Madinah yang pernah dibuat Nabi dalam menyatukan elemen umat dalam bingkai negara Madinah," kata Najamuddin.0 cnn