Image description
Image captions

Kejaksaan Agung (Kejagung) menuturkan peran suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, berkaitan dengan peran crazy rich Helena Lim dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022. Kejagung menyebut Harvey menerima uang-uang dari perusahaan swasta yang terlibat pengakomodiran kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk.


Uang dari perusahaan-perusahaan swasta tersebut diterima Harvey, melalui PT QSE. Pihak dari PT QSE yang memfasilitasi aliran dana tersebut adalah Helena Lim, sang manager.

Kejagung menyebut Harvey memberi instruksi agar perusahaan-perusahaan pemilik smelter menyisihkan keuntungan dari penjualan bijih timah yang dibeli PT Timah Tbk. Dana yang terkumpul, sebut Kejagung, lalu dinikmati Harvey dan para tersangka lainnya.

"Tersangka HM menginstruksikan kepada para pemilik smelter tersebut untuk mengeluarkan keuntungan bagi tersangka sendiri, maupun para tersangka lain yang telah ditahan sebelumnya, dengan dalih dana corporate social responsibility (CSR) kepada tersangka HM melalui PT QSE yang difasilitasi oleh Tersangka HLN," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Kuntadi, dalam jumpa pers di Gedung Kartika Jampidmil Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3/2024) malam.

Kuntadi sebelumnya mengatakan Harvey berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT RBT. Harvey disebut menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021 yang lebih dulu menjadi tersangka, MRPT alias RZ untuk membahas soal pengakomodiran kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

"Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara MRPT atau Saudara RZ dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," terang Kuntadi.

"Yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT," tambahnya.

Kuntadi menyebut, usai komunikasi itu, Harvey melakukan pertemuan dengan RZ. Hasil pertemuan itu disepakati kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut dikamuflasekan dengan kerja sama sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

"Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud," tambah dia.

Sebelumnya diberitakan pada 2018, tiga petinggi PT Timah Tbk di antaranya Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018 berinisial ALW; Direktur Utama PT Timah Tbk berinisial MRPT; dan Direktur Keuangan PT Timah Tbk berinisial EE menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibanding perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan penambangan liar dalam area IUP PT Timah Tbk yang masif.

Kejagung mengatakan PT Timah Tbk seharusnya menindak kompetitor yang melakukan penambangan liar. Namun yang terjadi justru mereka menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama, dengan cara membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa kajian terlebih dahulu.

Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter. Diketahui ketiga mantan petinggi PT Timah Tbk sudah ditetapkan sebagai tersangka terlebih dulu.


Peran PT RBT

Kejagung juga sebelumnya sudah menetapkan direksi PT RBT yakni berinisial SP dan RA sebagai tersangka. Keduanya berperan menginisiasi pertemuan dengan pihak PT Timah Tbk, yang diwakili tersangka MRPT dan EE. Pertemuan tersebut membahas pengakomodiran atau penampungan timah hasil penambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Kejagung menerangkan Tersangka SP dan Tersangka RA menentukan harga hasil tambang liar, yang selanjutnya untuk disetujui Tersangka MRPT. Usai pertemuan tersebut dibentuk perjanjian kerjasama antara PT Timah dengan PT RBT yang seolah-olah terdapat kegiatan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan PT Timah.

Lalu tersangka SP dan RA bersama-sama dengan tersangka MRPT dan EE menunjuk perusahaan-perusahaan tertentu sebagai mitra untuk melaksanakan kegiatan tersebut yaitu, PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN. Lalu dua direktur PT RBT tersebut serta MRPT dan EE menunjuk sebanyak tujuh 'perusahaan boneka' agar perpindahan bijih timah dari smelter-smelter swasta lainnya ke PT Timah Tbk tak mencurigakan.

"Untuk memasok kebutuhan biji timah, selanjutnya ditunjuk dan dibentuk 7 perusahaan boneka, yaitu CV BJA, CV RTP, CV BLA,CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS. Di mana untuk mengelabui kegiatannya, dibuat seolah-olah ada surat perintah kerja (SPK) kegiatan pemborongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP) mineral timah," ujarnya.

Adapun 16 tersangka lain dalam kasus tersebut di antaranya:

1. SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2. MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
3. HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik Tersangka TN alias AN)
4. MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021
5. EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018
6. BY selaku Mantan Komisaris CV VIP
7. RI selaku Direktur Utama PT SBS
8. TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN
9. AA selaku Manajer Operasional tambang CV VIP
10. TT, Tersangka kasus perintangan penyidikan perkara
11. RL, General Manager PT TIN
12. SP selaku Direktur Utama PT RBT
13. RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
14. ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 s/d 2020 PT Timah Tbk.
15. Helena Lim selaku manager PT QSE
16. Harvey Moeis, perpanjangan PT RBT

sumber: detik