Image description
Image captions

Bukan menjadi rahasia lagi ketika influencer turut digaet pemerintah untuk membantu promosi kebijakan atau program kepada masyarakat.
Alih-alih memudahkan sosialisasi, pemanfaatan jasa influencer justru malah berubah menjadi alat propaganda bagi pemerintah sendiri.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Defny Holidin mengatakan kalau pada prinsipnya influencer itu diperlukan untuk menyederhanakan pesan dari kebijakan atau program agar dipahami masyarakat.


"Agar mudah dipahami masyarakat luas yang latar belakang pendidikan dan konsumsi informasinya sangat beragam," kata Defny saat dihubungi pada Jumat (21/8/2020).


Namun, Defny menemukan titik lemah pada penggunaan jasa influencer, yakni munculnya misleading.


Ia mencontohkan ketika pemerintah harus memberikan beragam kebijakan publik di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).

Defny menemukan ada pemahaman yang keliru di saat awal pandemi dan di pertengahan tahun.


"Misleading ini menciptakan double gap dalam sosialisasi kebijakan pemerintah - masyarakat dan influencer - masyarakat," ujarnya.


Kemudian, ia juga melihat adanya pergeseran dari peran influencer itu sendiri. Influencer itu seharusnya menyosialisasikan kebijakan kepada masyarakat namun kekinian malah menjadi alat propaganda.


Sosok influencer dimanfaatkan pemerintah untuk membuat citra baik di mata masyarakat tanpa diimbangi dengan kinerja yang memuaskan.


"Pergeseran peran ke alat propaganda baru dalam rangka menciptakan perspesi positif publik menurut versi pemerintah secara monolog yang berbeda jauh dari ukuran kinerja penanganan pandemi menurut ukuran obyektif pada dimensi sosial-ekonomi dan medis," pungkasnya.


Beberapa waktu belakangan, warganet sempat dibuat emosi dengan sejumlah artis mempromosikan rancangan Undang-Undang cipta kerja (RUU Cipta Kerja) yang sedianya merugikan bagi masyarakat.


Pemerintah memang memiliki anggaran untuk menggandeng influencer senilai Rp 90,45 miliar.


Hal tersebut ditemukan dalam kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan menelusuri situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk melihat data pengadaan program dan jasa di 34 kementerian, lembaga, kejaksaan dan Polri.


Pengumpulan data dilakukan dari 14 Agustus hingga 18 Agustus 2020.
"Total anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas melibatkan influencer dengan 40 paket sebesar Rp 90,45 miliar, semakin marak sejak 2017," kata Peneliti ICW, Egi Primayogha dalam diskusi ICW bertajuk "Aktivitas Digital Pemerintah: Berapa Miliar Anggaran Influencer?", Kamis (20/8/2020).


Egi memberikan contoh penggunaan influencer untuk sosialisasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2019.


Nama Gritte Agatha dan Ayushita WN menjadi influencer yang terpilih dengan total anggaran Rp 114,4 juta.


Kemudian terdapat pula nama Ahmad Jalaluddin Rumi atau El dan Ali Syakieb yang juga menjadi influencer untuk program tersebut.
Kemendikbud menggelontorkan Rp 114,4 juta untuk dua influencer itu.